Teluk Kuantan — Sejumlah pemilik ruko di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Imam Bonjol, Kota Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, menyampaikan keberatan atas pungutan biaya pemasangan ornamen “lembayung” yang dibebankan kepada mereka sebesar Rp 12 juta per unit. Proyek ini merupakan bagian dari program penataan wajah kota di bawah arahan Bupati Dr. H. Suhardiman Amby dan masuk dalam RPJMD. Berdasarkan dokumen anggaran, kegiatan tersebut telah dibiayai dari APBD Kabupaten Kuansing sebesar Rp 15 miliar, ditambah bantuan Pemerintah Provinsi Riau senilai Rp 3 miliar. (14/08)
Meski pendanaan publik sudah tersedia, pungutan kepada masyarakat tetap dilakukan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius terkait transparansi dan dasar hukum kebijakan tersebut.
“Jumlahnya terlalu besar untuk kami, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih,” ujar salah satu pemilik ruko yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Seorang tokoh masyarakat berinisial RK menilai pungutan itu jauh di atas harga pasar. Menurutnya, besi holo satu batang dengan panjang 580 cm seharga sekitar Rp 120 ribu, dan untuk satu ruko hanya memerlukan tujuh batang. Aksesoris dan cat diperkirakan tak lebih dari Rp 3 juta, sedangkan upah pasang paling mahal Rp 1 juta. “Kalau hitung-hitungan ini benar, kemana sisanya?,” ujarnya.
Berdasarkan perkiraan jumlah ruko di dua sisi jalan, jika jumlah ruko sekitar 150 unit, total pungutan dapat mencapai Rp 1,8 miliar. Angka ini menambah tanda tanya mengingat proyek sudah mendapatkan pendanaan penuh dari APBD dan bantuan provinsi.
Keluhan warga Kuansing ini tidak hanya disampaikan secara langsung, tetapi juga meluas di media sosial. Unggahan foto dan video yang menyoroti pungutan lembayung tersebut viral di Facebook, Instagram, dan TikTok sejak awal Agustus 2025. Beberapa video bahkan menembus puluhan ribu tayangan, memicu ratusan komentar yang mayoritas mempertanyakan legalitas pungutan dan meminta aparat penegak hukum turun tangan.
Hasil penelusuran regulasi daerah menunjukkan tidak ada Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Bupati (Perbup) yang secara khusus menetapkan pungutan biaya pemasangan lembayung kepada pemilik ruko. Regulasi retribusi daerah yang ada hanya mencakup pemakaian kekayaan daerah secara umum, dan tidak relevan dengan pemasangan ornamen pada bangunan milik pribadi.
Pungutan yang tidak memiliki dasar hukum ini berpotensi dikategorikan sebagai pungutan liar (illegal levy) dan dapat melanggar sejumlah ketentuan hukum. Potensi pasal yang dilanggar antara lain:
1.Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebut: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan menyalahgunakan jabatan, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 4–20 tahun dan denda Rp 200 juta–Rp 1 miliar.
2.Pasal 368 KUHP (Pemerasan) yang mengatur pidana bagi setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain menyerahkan barang atau utang dengan ancaman kekerasan atau kekuasaan.
3.Pasal 423 KUHP (Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Pejabat), yang melarang pejabat memaksa orang lain untuk membayar atau memberikan barang secara tidak sah.
4.Pasal 3 UU Tipikor, yang melarang penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara.
Pungutan ini juga berpotensi masuk kategori double funding karena kegiatan yang sudah dianggarkan di APBD dan bantuan provinsi tetap dibebankan kembali kepada masyarakat.
Warga mendesak Pemkab Kuansing segera membuka Rencana Anggaran Biaya (RAB) pemasangan lembayung, menunjukkan regulasi resmi yang menjadi dasar pungutan, dan menjelaskan penggunaan dana APBD serta bantuan provinsi untuk program ini.
Hingga berita ini diterbitkan, tidak ada jawaban resmi dari pemerintah kabupaten kuansing. Berita akan di perbarui seiring perkembangan informasi terbaru