Pekanbaru – Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA/SMK Negeri di Provinsi Riau tahun 2025 terus menuai kecaman dari publik. Sejumlah wali murid mengaku anak mereka yang dinyatakan lulus dan aktif dalam sistem, justru belum bisa melakukan daftar ulang. Sekolah berdalih menunggu validasi dari Dinas Pendidikan, namun tanpa kejelasan atau kepastian hukum. (06/07)
“Minim transparansi, puluhan ribu siswa tidak lulus, namun proses daftar ulang bagi siswa yang diterima justru tidak seragam. Aktivis, wali murid, hingga lembaga independen mulai menyorot potensi permainan kuota dan titipan dalam PPDB Riau 2025.”
Keresahan ini menyebar luas di kalangan orang tua siswa, terutama yang diterima di sekolah-sekolah favorit di Pekanbaru. Mereka takut anak-anaknya digeser secara diam-diam oleh siswa titipan atau mereka yang masuk melalui jalur tidak resmi dengan “uang pelicin”. Situasi menjadi janggal ketika beberapa siswa lain yang statusnya sama sudah bisa lebih dulu daftar ulang, sementara yang lain diminta menunggu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami takut anak kami digeser. Kalau memang sistem validasi, mengapa ada siswa lain sudah daftar ulang, padahal statusnya juga diterima?” kata Rina, salah seorang wali murid yang kecewa.
Lebih memprihatinkan, tidak ada data resmi yang bisa diakses publik. Tidak diketahui berapa siswa yang mendaftar, berapa yang diterima, berapa yang ditolak, ataupun berapa yang telah mendaftar ulang. Nama-nama siswa pun tak tersedia di laman resmi PPDB maupun situs sekolah. Transparansi yang semestinya menjadi prinsip dasar dalam seleksi pendidikan, justru diabaikan.
Ironisnya, lembaga-lembaga seperti Dewan Pendidikan Riau, Ombudsman RI Perwakilan Riau, dan PGRI justru tampil memuji sistem. Mereka menyebut PPDB berjalan sesuai juknis dan prosedur ketat. Pernyataan yang menimbulkan kemarahan banyak pihak, karena bertolak belakang dengan keresahan nyata para wali murid.
“Lalu buat apa ada lembaga pengawas kalau hanya untuk menyenangkan dinas dan menyetujui sistem yang penuh ketidakadilan ini?” ujar Umar wali murid lainnya.
Sementara itu, data menyebutkan bahwa lebih dari 23.000 siswa di Riau tidak diterima di sekolah negeri tahun ini. Kesenjangan daya tampung dan jumlah pendaftar seharusnya sudah bisa diantisipasi sejak awal oleh Dinas Pendidikan. Namun yang terjadi justru kekacauan sistem, tanpa solusi konkret bagi ribuan keluarga yang berharap anaknya mengakses pendidikan yang layak.
Situasi diperburuk dengan pengisian kuota tambahan pada 7–8 Juli yang kembali dilakukan tanpa keterbukaan. Disdik mengklaim proses tetap selektif, namun dilakukan dalam ruang tertutup, tanpa pengawasan independen dan tanpa akses informasi yang layak bagi publik.
Menanggapi situasi ini, Mustakim, Wakil Ketum SATU GARIS✒️ (Suara Aspirasi Terdepan untuk Gerakan Anti Korupsi, Reformasi, integritas, dan Supremasi Hukum), menyatakan pihaknya sedang melakukan pemantauan ketat.
“Kami akan mengawasi dengan seksama, dan di berbagai daerah perwakilan dari SATU GARIS ✒️ sudah bergerak mengumpulkan data. Semoga apa yang dikhawatirkan masyarakat tidak terjadi. Tapi jika memang ada kecurangan, tunggu saja kami akan turun ke jalan bersama masyarakat yang anak-anaknya tidak mendapatkan hak yang sama,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ade Monchai Ketua Umum SATU GARIS✒️ menyampaikan bahwa pihaknya menerima banyak informasi dari berbagai sumber mengenai dugaan praktik jual beli kursi di PPDB 2025.
“Dengan situasi kritis dan tingginya minat orang tua untuk memasukkan anak ke sekolah negeri, beberapa oknum LSM, oknum DPRD, dan oknum Disdik sendiri diduga menawarkan kuota dengan tarif antara 30 sampai 50 juta rupiah per siswa,” ungkapnya.
Ade mengajak masyarakat untuk berani melapor.
“Kami meminta orang tua murid yang dijanjikan oleh oknum tersebut untuk melaporkan kepada kami atau langsung ke pihak berwajib. Kami siap dampingi. Sebagai warga negara, mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak yang dijamin oleh negara,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, sistem SPMB yang tidak transparan ini telah menimbulkan spekulasi liar di tengah masyarakat. Praktik jual beli bangku sekolah bukan isapan jempol belaka, bahkan pada tahun 2023 dan 2024 lalu sempat menghebohkan publik.
“Kami meminta aparat penegak hukum, KPK, dan Kejaksaan untuk mengarahkan mata dan telinga mereka ke Riau. Sudah saatnya tangan besi KPK dan Kejaksaan mengusut dugaan permainan ini,” tambahnya.
Ade menyebutkan bahwa potensi penyimpangan makin besar setelah Satgas Saber Pungli resmi dibubarkan oleh Presiden.
“Ini saat yang paling rawan. Ketika tidak ada pengawasan kuat, maka oknum akan leluasa bermain. Saat ini kami menagih janji Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit yang menyatakan “Penegakkan Hukum terhadap pungli tetap berjalan”, Sudah waktunya para pengkhianat UUD 1945 diberi efek jera. Mereka tidak hanya mencoreng pendidikan, tapi telah mengorbankan masa depan bangsa,” pungkasnya.
Jika sistem pendidikan negeri dipenuhi ruang gelap dan kompromi, maka keadilan akan menjadi milik segelintir elite. Ketika lembaga pengawasan justru menyebar pujian palsu, maka publik kehilangan harapan. Negara wajib hadir bukan hanya dalam regulasi, tapi dalam tindakan nyata memastikan pendidikan sebagai hak semua warga, bukan komoditas transaksi kekuasaan*
Tinggalkan Balasan