Jakarta, 20 Mei 2025 – Apa kabar reformasi birokrasi? Mungkin sedang koma. Hari ini, publik dikejutkan oleh kabar pelantikan Irjen Polisi Muhammad Iqbal, seorang perwira tinggi POLRI yang masih aktif, sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI. Ya, Anda tidak salah baca. Polisi aktif kini duduk manis di kursi strategis parlemen.
Langkah ini sontak memantik gelombang kritik dari berbagai kalangan. Tak main-main, pelantikan Iqbal disebut melanggar dua undang-undang sekaligus:
1.UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
2.UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
“Polisi aktif dilarang menjabat di luar institusi Polri, kecuali sudah pensiun atau mengundurkan diri. Itu jelas diatur dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri,” tegas Lucius Karus, peneliti dari Formappi, dalam wawancara yang dikutip Senin (19/5/2025).
Tak hanya itu, menurut UU MD3, jabatan Sekjen DPD seharusnya diisi oleh PNS profesional. Tapi sekarang? Yang duduk adalah perwira polisi bintang dua. “DPD ini mau bikin negara versi sendiri?” sindir Lucius.
Lucius menyebut, pihak yang patut disorot pertama kali adalah pimpinan DPD RI. Karena merekalah yang mengusulkan nama Irjen Iqbal kepada Presiden, hingga akhirnya diteken lewat Keppres No. 79/TPA Tahun 2025.
“Ini bukan cuma pelanggaran administratif, tapi juga persoalan etika negara. Ada potensi konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan. Kesekjenan DPD bisa disandera oleh institusi di luar parlemen,” ujar Lucius.
Banyak yang menyebut penunjukan ini sebagai sinyal kuat bahwa praktik dwi fungsi ala Orde Baru sedang hidup kembali. Polisi, yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban, kini masuk ke dalam struktur birokrasi tinggi di lembaga legislatif.
Masyarakat sipil pun mulai resah. “Kalau besok Kapolda jadi Sekda, atau Kapolres jadi Kepala Bappeda, jangan kaget. Kita sedang mundur ke masa kelam,” ujar seorang aktivis antikorupsi.
Hingga berita ini diturunkan, DPD RI dan Istana Negara masih bungkam. Belum ada pernyataan resmi terkait keabsahan dan dasar hukum penunjukan tersebut.