PEKANBARU – Dugaan korupsi dalam proyek pemeliharaan Gedung Pascasarjana UIN Suska Riau memasuki babak baru. Setelah pekerjaan fisik proyek senilai Rp571,2 juta terbukti belum selesai namun telah dibayar 100 persen, investigasi lebih lanjut menemukan bahwa seluruh rangkaian proyek ini—mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan—telah dibayar lunas oleh negara, meski hasil di lapangan jauh dari kata tuntas. (21/05)
Dibayar Tuntas Tanpa Tuntas: Perencanaan Proyek Digarap CV Mutiara Pratama
Dokumen pengadaan yang berhasil dihimpun menyebutkan bahwa pengadaan jasa konsultansi perencanaan pemeliharaan gedung dilaksanakan dengan metode non-tender alias penunjukan langsung. Pagu anggaran untuk paket ini tercatat sebesar Rp54.400.000, dengan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) sebesar Rp54.272.284,50.
Perusahaan pemenang adalah CV Mutiara Pratama, beralamat di Jalan Gunung Raya Gg. Darussalam No. 6, Pekanbaru. Nilai kontrak yang ditandatangani adalah sebesar Rp53.328.784,50. Status kontrak tertulis “Selesai”.
Pertanyaan muncul: apakah dokumen perencanaan benar-benar ada dan digunakan dalam pelaksanaan proyek fisik yang saat ini mangkrak? Atau ini hanya formalitas untuk memenuhi syarat administratif agar dana dapat dicairkan seluruhnya?
Paket Konsultansi Pengawasan Bermasalah: Diulang Karena Cacat Hukum
Tak kalah menarik, pengadaan jasa konsultansi pengawasan proyek juga menyimpan jejak masalah sejak awal. Berdasarkan dokumen resmi LPSE, paket ini semula dilakukan melalui metode pengadaan langsung, namun harus diulang karena terdapat kesalahan dalam dokumen pemilihan yang tidak sesuai dengan Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kesalahan tersebut menunjukkan adanya indikasi ketidakhati-hatian atau bahkan dugaan pengkondisian sejak awal. Meski proses sempat dihentikan dan diulang, tetap saja paket ini kembali dilaksanakan secara pengadaan langsung. Pemenangnya adalah CV Sargasso Consultant, beralamat di Jl. Pembina III, Limbungan, Rumbai Pesisir, Pekanbaru, dengan nilai kontrak sebesar Rp40.404.000,00 dari pagu Rp40,8 juta.
Kontrak ini pun—anehnya—dinyatakan selesai dan ditandatangani oleh pejabat yang sama: Muhammad Nasir, S.Ag, pada 27 Februari 2024, tanggal yang identik dengan pencairan penuh proyek fisik yang belum selesai di lapangan.
Fakta bahwa ketiga kontrak—perencanaan, pengawasan, dan pelaksanaan fisik—diselesaikan administrasinya pada waktu yang nyaris bersamaan dan oleh orang yang sama, menimbulkan kecurigaan besar. Apakah ini hanya kebetulan? Atau ini bagian dari skema sistematis untuk mengondisikan proyek agar terlihat sempurna di atas kertas, meski fisiknya terbengkalai?
Lebih dari itu, semua paket ini menggunakan metode non-tender (pengadaan langsung) dengan hanya satu peserta. Artinya, nyaris tidak ada kompetisi, tidak ada transparansi, dan sangat besar peluang adanya pengaturan antara pihak kampus dan pihak penyedia.
Dokumen persyaratan kualifikasi untuk CV Sargasso Consultant menyebutkan berbagai ketentuan teknis dan hukum: dari SBU pengawasan (RE201), pengalaman kerja, pernyataan tidak dalam daftar hitam, hingga kepemilikan NPWP aktif. Namun apakah verifikasi ini benar-benar dilakukan secara ketat oleh PPK? Atau hanya formalitas?
CV Sargasso menang dengan penawaran hanya Rp136.807,50 lebih murah dari HPS—indikasi “penyesuaian minimal” agar tetap memenuhi batas formal.
Ketika seluruh proses dokumentasi dan pencairan dilakukan dengan sangat rapi dan terstruktur, namun hasil fisik di lapangan nihil, maka ini adalah sinyal kuat adanya manipulasi administratif. Terlebih lagi, semua proses ini dilakukan dengan menggunakan dana BLU, bukan DIPA reguler, yang seharusnya tidak diatur dalam PMK 109 Tahun 2023—aturan yang dipakai sebagai dalih pencairan pembayaran 100 persen untuk proyek yang belum selesai.
Kini, dengan terbongkarnya alur pencairan dana untuk ketiga paket ini, investigasi telah mengarah pada dugaan korupsi berjamaah. Ini bukan lagi soal satu kontraktor yang gagal menyelesaikan pekerjaan. Ini soal satu skema besar yang melibatkan internal kampus, penyedia jasa, dan kemungkinan aktor-aktor pengawas, untuk menghabiskan anggaran tanpa hasil riil.
Suara Publik dan Aktivis: Ini Bukan Kelalaian, Tapi Kejahatan Terstruktur
Kabar mengenai proyek mangkrak namun dibayar lunas ini memicu kemarahan publik, terutama di kalangan mahasiswa dan aktivis antikorupsi. Banyak yang menilai bahwa ini bukan lagi soal kelalaian administratif, melainkan indikasi kejahatan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
“Ini bukan cuma soal proyek fisik yang belum selesai. Ini skema korupsi yang melibatkan banyak tangan, dari perencana, pengawas, sampai pencair anggaran. Kami mendesak KPK dan Kejati Riau turun tangan,” kata Mustakim Koordinator Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Riau Berantas Korupsi.
Aktivis mahasiswa dari UIN Suska, RDS, juga menyampaikan kekecewaannya: “Kami merasa dikhianati oleh kampus sendiri. Dana yang seharusnya untuk peningkatan fasilitas pendidikan malah dikuras dengan cara-cara licik dan manipulatif. Kampus ini butuh bersih-bersih besar-besaran.”
Sementara itu, seorang akademisi yang enggan disebutkan namanya mengingatkan bahwa kasus seperti ini akan semakin mencoreng integritas lembaga pendidikan Islam di mata publik. “Kalau di kampus Islam saja bisa main proyek seperti ini, lalu di mana akhlak akademiknya?”
Gelombang desakan agar aparat penegak hukum turun tangan kini menguat. Beberapa organisasi sipil tengah menyusun laporan resmi untuk dilayangkan ke KPK dan diketahui laporan juga sudah masuk di Kejaksaan Tinggi Riau, dengan lampiran dokumen kontrak dan bukti-bukti administrasi yang lengkap,tapi kenapa Hinga saat ini Kejaksaan Tinggi Riau belum melakukan tindakan?
“Jangan sampai ini hanya jadi kasus yang viral sebentar lalu menghilang. Kami akan kawal sampai tuntas,Aparat penegak hukum harus segera tangkap rektor UIN Prof Khairunnas dan M,Nasir,SAg ,serta pejabat UIN lainnya dan Para Kontraktor,” tegas Mustakim