PEKANBARU – Ketika Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) tengah menyelidiki dugaan mega korupsi dalam pengelolaan Participating Interest (PI) 10% oleh PT Riau Petroleum Rokan (RPR), langkah mengejutkan justru datang dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Di bawah kepemimpinan Kepala Kejati Akmal Abbas, institusi ini justru menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PT RPR—perusahaan BUMD yang tengah dibidik karena diduga menyimpangkan dana triliunan rupiah milik rakyat. (22/05)
Penandatanganan MoU itu dilakukan tanggal 20 Mei 2025, padahal ditahun 2024 Kejaksaan Agung menyelidiki PT Petroleum dengan Surat Perintah Penyelidikan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah terbit dengan nomor PRINT-20/F.2/Fd.1/11/2024, tertanggal 20 November 2024. Bahkan, mantan Direktur Utama PT RPR, Ferry Andriani, dan Husnul Kosarian diketahui sudah dipanggil Kejagung untuk dimintai keterangan sejak 2024.
“Dana PI 10% adalah dana publik (dana rakyat) yang dikelola oleh pemerintah daerah melalui BUMD. Penyimpangan penggunaan dana ini adalah bentuk korupsi terhadap uang rakyat, bukan hanya pelanggaran administrasi antar institusi”
Dana Participating Interest 10% dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) untuk Provinsi Riau senilai Rp3,5 triliun dicairkan pada Desember 2023,dan ditahun 2024 Dana PI dari PHR dicairkan setiap bulannya, Dana tersebut kemudian dialirkan ke enam anak perusahaan di bawah PT Riau Petroleum:
PT Riau Petroleum Siak, PT Riau Petroleum Kampar, PT Riau Petroleum Rokan, PT Riau Petroleum Mahato, PT Riau Petroleum Bentu, PT Riau Petroleum Malacca Strait.
Namun hingga kini, penggunaan dana triliunan itu masih menyisakan tanda tanya. Direktur Utama PT Riau Petroleum, Husnul Kausarian, mengakui dirinya dan Ferry Andriani telah dipanggil Kejagung, namun tidak ada penjelasan terbuka soal ke mana dan untuk apa dana itu digunakan dan tidak ada kabar tindak lanjut dari penyelidikan.
Lebih lanjut, publik juga menyoroti keberadaan sejumlah entitas lainnya yang berada di bawah atau berafiliasi dengan PT Riau Petroleum Holding, seperti:
PT Riau Energi, PT Riau Power, PT Riau Gas, PT Riau Petrokomersil, PT Riau Petro Energi, PT Petro Riau, PT Riau Petro Niaga.
Beberapa dari perusahaan tersebut diduga hanya menjadi “pelat merah tidur”—perusahaan tanpa aktivitas nyata, namun tetap menerima aliran dana dan digunakan sebagai kendaraan proyek bernilai miliaran.
Nama Ferry Andriani mencuat bukan hanya karena posisinya sebagai Direktur Utama PT Riau Petroleum Rokan, tetapi juga karena gaya hidup mewah dan dugaan perilaku menyimpang. Sejumlah aktivis antikorupsi menyebut gaya hidup Ferry mencoreng etika pejabat publik dan menjadi simbol betapa “liar”nya pengelolaan uang rakyat dalam tubuh BUMD migas Riau.
Kejati Riau: Banyak Laporan, Sedikit yang Naik
Kinerja Kejati Riau kini menjadi sorotan tajam. Di bawah Akmal Abbas, berbagai laporan dugaan korupsi yang dilayangkan masyarakat seolah “masuk kotak es”. Hanya segelintir kasus yang sampai ke pengadilan sepanjang 2024 hingga awal 2025.
Padahal berdasarkan data ICW dan KPK, Provinsi Riau merupakan salah satu daerah dengan tingkat korupsi tertinggi di Indonesia, bersaing dengan Sumatera Utara dan Papua. Bahkan, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo pernah menyebutkan bahwa dari kepala desa hingga gubernur di Riau pernah tersangkut kasus korupsi besar.
Desas-Desus Pensiunnya Akmal Abbas
Spekulasi tentang rencana pensiun Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas menambah polemik. Secara tradisional, pejabat tinggi kejaksaan yang akan pensiun biasanya ditarik lebih dahulu ke pusat. Namun hingga kini, tidak ada tanda-tanda bahwa Akmal akan dimutasi ke Kejagung. Publik pun mulai bertanya: adakah “perlindungan elite” yang sedang bekerja?
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Riau menyerukan agar Kejagung mengambil alih penuh penanganan kasus PI 10%. “Kejati Riau tidak bisa lagi diandalkan,” kata salah satu juru bicara mereka. “Publik berhak tahu dana triliunan itu dipakai untuk siapa, untuk apa, dan ke mana mengalirnya.”
Mereka juga mempertanyakan: apakah Kejagung akan menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan? Ataukah, justru ikut “kompak” bersama Kejati Riau dalam mem-peti es-kan kasus dugaan mega korupsi di tubuh PT RPR?
Kini, publik hanya bisa menanti: apakah kasus ini akan menjadi “bangkai gajah” yang disembunyikan di ruang tamu, ataukah Kejagung benar-benar membongkar permainan busuk di balik proyek Participating Interest 10% yang nilainya setara dengan hampir setengah APBD Provinsi Riau?
“Di saat Kejaksaan Agung masih menyelidiki dugaan korupsi triliunan rupiah dalam pengelolaan Participating Interest (PI) 10% oleh PT Riau Petroleum Rokan, Kejaksaan Tinggi Riau justru menggandeng perusahaan tersebut dalam sebuah MoU. Publik pun bertanya: apakah Kejati sedang menutup mata, atau ikut bermain?”,pungkas Mustakim koordinator Koalisi
Catatan Redaksi
Tim investigasi kami masih menelusuri lebih lanjut aliran dana, proyek fiktif, serta potensi keterlibatan tokoh politik dan pengusaha dalam pusaran dana PI 10%. Jika Anda memiliki dokumen, foto, atau rekaman yang relevan, silakan kirimkan ke kanal pelaporan redaksi investigasi kami. Redaksi juga membuka ruang hak jawab bagi pihak pihak yang disebutkan didalam berita.
🔍 Catatan Tambahan
Sebagian besar komisaris utama di BUMD Riau merupakan pejabat aktif di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.Beberapa BUMD memiliki anak perusahaan yang juga dipimpin oleh individu yang memiliki afiliasi dengan pemerintah daerah.
Sumber: Mataxpost.com