Pekanbaru — Polemik pengembalian honorarium yang menimpa ratusan guru honorer bersertifikasi di Kota Pekanbaru memicu kemarahan publik. Sebanyak 316 guru diminta mengembalikan honor dari dana BOS yang telah mereka terima selama enam bulan terakhir, dengan total nilai mencapai Rp3,7 miliar. Permintaan itu disampaikan melalui sekolah atas arahan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, dengan alasan adanya pelanggaran terhadap Permendikbudristek Nomor 63 Tahun 2024 tentang Juknis BOS Reguler.
Namun kebijakan ini langsung menuai kritik keras karena dianggap sepihak, tidak adil, dan cacat prosedur hukum. Aktivis sosial peduli pendidikan Riau, Ade Monchai, menyebut tindakan Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, Abdul Jamal, sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab atas kelalaian sistemik yang seharusnya menjadi beban institusi, bukan guru.
“Guru honorer itu dibayar lewat mekanisme resmi, berdasarkan verifikasi sekolah dan persetujuan Dinas. Kalau hari ini mereka disuruh kembalikan uang hidup mereka, itu namanya menjadikan guru sebagai tumbal birokrasi,” tegas Ade, Kamis (4/7/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal senada disampaikan Mustakim, JM.M.PD. pemerhati pendidikan anak Riau, yang menilai kebijakan ini menunjukkan arogansi dan ketidakcakapan dalam memimpin institusi pendidikan. Menurutnya, guru honorer adalah kelompok paling lemah secara struktural, dan seharusnya justru dilindungi, bukan dikriminalisasi secara administratif.
“Mereka itu guru Honorer, gaji kecil nunggunya lama, berbulan – bulan. Honor yang mereka terima itu bukan hasil korupsi, bukan juga dana fiktif. Mereka digaji karena mereka bekerja, dan proses itu diketahui serta diloloskan oleh Dinas. Kalau sekarang ribut setelah enam bulan, itu artinya ada kelalaian dalam sistem pengawasan, bukan kesalahan guru,” ujar Mustakim.
Keduanya sepakat bahwa Kadisdik Abdul Jamal harus dicopot dari jabatannya karena gagal menjamin keadilan administratif, melanggar asas pemerintahan yang baik, dan berpotensi melanggar hukum. Desakan pencopotan Jamal juga menguat di kalangan organisasi sipil dan guru yang merasa telah dijadikan kambing hitam dalam kekacauan manajemen anggaran BOS.
Terdapat setidaknya tiga pelanggaran yang diduga dilakukan Abdul Jamal dalam kasus ini:
1. Mengeluarkan kebijakan pengembalian dana tanpa dasar audit resmi. Hingga kini tidak ada laporan atau rekomendasi dari Inspektorat, BPKP, atau BPK terkait pelanggaran penggunaan dana BOS oleh guru honorer. Tanpa audit, tindakan penagihan dianggap cacat hukum dan melanggar UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan PP Nomor 38 Tahun 2016 tentang TGR (Tuntutan Ganti Rugi) Keuangan Negara.
2. Melanggar asas praduga tak bersalah dan pemerintahan yang baik. Guru langsung dituduh bersalah dan dibebani pengembalian dana tanpa klarifikasi resmi, pembelaan, atau proses pemeriksaan internal. Ini bertentangan dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
3. Menyalahgunakan kewenangan dengan intervensi sepihak ke sekolah-sekolah. Kadisdik diduga memberi tekanan agar sekolah memaksa guru mengembalikan dana, padahal secara hukum hal ini hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil audit negara atau rekomendasi Inspektorat.
Lebih ironis lagi, polemik ini baru mencuat setelah dana diberikan dan digunakan selama enam bulan tanpa teguran. Hal ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan di internal Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru. Tidak adanya sistem pelaporan yang cepat dan sinkronisasi data guru penerima tunjangan profesi dan dana BOS mencerminkan kelalaian sistemik yang mestinya menjadi tanggung jawab penuh Dinas Pendidikan, bukan guru.
“Kalau memang ini pelanggaran, mengapa baru ribut setelah enam bulan? Ke mana saja Kadisdik selama ini? Jangan-jangan ini hanya upaya menyelamatkan citra Dinas dengan cara mengorbankan guru,” sindir Ade Monchai.
Beberapa guru honorer menyampaikan keluhannya secara langsung kepada media sesaat setelah kebijakan tersebut diumumkan. Mereka merasa sangat dirugikan karena tidak pernah mendapat pemberitahuan atau sosialisasi sebelumnya.
“Permintaan pengembalian honor dilakukan secara sepihak dan tanpa dasar hukum yang jelas,” ungkap seorang guru honorer kepada media .
Lebih lanjut, mereka menjelaskan:
Dana yang diterima sejak Januari telah digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga tidak ada lagi cadangan untuk mengembalikan nominal yang diminta.
Mereka berharap ada kebijakan transisi atau skema pengembalian yang lebih manusiawi dan tidak tiba-tiba membebani.
Wali Kota Pekanbaru juga turut diminta bertindak tegas atas krisis ini. Guru honorer bukan hanya ujung tombak pendidikan, tapi juga bagian dari rakyat yang berhak mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan. Kebijakan yang gegabah dan tidak manusiawi hanya akan menciptakan keresahan massal dan merusak reputasi pemerintah daerah.
Jika tidak ada langkah korektif dan permintaan pengembalian dana tetap dilanjutkan, maka pemerintah telah memberi sinyal bahwa guru tidak lebih dari alat birokrasi, bukan aset bangsa. Saat ini, tuntutan agar perintah pengembalian dibatalkan dan Kadisdik Abdul Jamal dicopot dari jabatannya semakin menguat. Guru-guru bersatu menyuarakan hak mereka, dan masyarakat mendukung perjuangan itu.
“Jangan main-main dengan nasib 316 guru ini nanti termakan sumpah pak kadis. Karena dari tangan guru yang ditindas hari ini, bisa lahir anak-anak yang kelak memperjuangkan kebenaran,” pungkas Mustakim.
Sumber berita : MataXpost.com
Tinggalkan Balasan