
. 

Detik X | Jakarta – Pemerintah dikabarkan memiliki dana sekitar Rp400 triliun yang ditempatkan di Bank Indonesia. Dari jumlah itu, Rp200 triliun sudah mulai ditarik dan disalurkan ke sejumlah bank nasional.
Namun, penyaluran ini masih menyisakan gap besar: tidak semua bank mampu menyerap dana jumbo tersebut secara optimal. Di sisi lain, masih ada Rp200 triliun yang tersisa di BI, menimbulkan pertanyaan lanjutan apakah dana itu benar-benar ada secara riil atau hanya sekadar angka di laporan keuangan?
Kecurigaan publik tak lahir tanpa dasar. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah menemukan selisih data dalam catatan keuangan BI, mulai dari saldo giro, Giro Wajib Minimum, hingga pencatatan dana pihak ketiga.
Meski tidak otomatis membuktikan adanya dana fiktif, temuan ini cukup untuk mengguncang keyakinan bahwa angka-angka dalam neraca BI bebas dari manipulasi.
Situasi kian panas karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini sedang mengusut kasus korupsi dana CSR Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diduga mengalir ke oknum anggota DPR.
Uang yang seharusnya digunakan untuk program sosial justru diselewengkan untuk membeli mobil hingga aset mewah. Skandal ini memperlemah citra BI dan OJK sebagai lembaga yang seharusnya menjaga integritas keuangan negara.
Kritik keras juga datang dari akademisi. Ekonom senior Didik J. Rachbini menilai penarikan dana Rp200 triliun tanpa persetujuan DPR merupakan tindakan inkonstitusional, melanggar UU Keuangan Negara, UU APBN, dan UU Perbendaharaan Negara.
Menurutnya, pemerintah tak bisa memindahkan dana negara sebesar itu secara sepihak tanpa mekanisme anggaran yang sah.
Pemerintah membantah tudingan tersebut. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan kebijakan ini memiliki dasar hukum kuat, bahkan pernah dilakukan pada masa krisis 2008 dan pandemi 2021. Ia menyebut langkah ini murni untuk memperkuat likuiditas perbankan, menyalurkan kredit murah, dan memulihkan ekonomi bukan terkait isu korupsi.
Namun, narasi itu belum mampu meredam kecurigaan publik. Pertanyaan mendasar masih menggantung: apakah saldo dana pemerintah di BI benar-benar utuh sesuai laporan, atau ada ketidaksesuaian yang bisa berubah menjadi skandal keuangan terbesar?
Jika uang itu nyata, kebijakan Rp200 triliun bisa menjadi stimulus raksasa bagi ekonomi. Tapi jika ternyata tidak, langkah ini bisa membuka kotak pandora mega korupsi yang menyeret BI, OJK, dan DPR sekaligus.
Sampai saat ini, BI dan OJK belum memberi klarifikasi resmi soal isu ini. DPR pun bungkam terkait tudingan keterlibatan sejumlah anggotanya.
Sementara itu, publik menunggu jawaban: apakah Rp200 triliun yang sudah mulai disalurkan itu benar-benar berputar untuk rakyat, dan bagaimana nasib sisa Rp200 triliun lain yang masih tersimpan di BI apakah aman, atau justru menyimpan rahasia besar dalam sejarah keuangan negara?

Tidak ada komentar