SELATPANJANG, MERANTI — Skandal sengketa lahan antara Swandi dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti membuka kotak pandora soal dugaan praktik mafia tanah yang merajalela di jantung Kota Selatpanjang. Warga dan pegiat hukum mendesak aparat penegak hukum untuk segera menangkap tiga orang yang disebut sebagai mafia tanah Liong Tjai, Apeng, dan Bin Kian serta memeriksa secara intensif oknum pejabat BPKAD, Lurah Sri Suryani Dwi, dan Camat Selatpanjang Selatan yang diduga kuat terlibat atau membiarkan perampasan aset negara terjadi di depan mata.

Skandal ini bermula dari gugatan hukum yang diajukan Swandi, warga pemilik sah atas tanah seluas 16 x 65 meter di Jalan Ibrahim G.G Torpedo. Ia mengantongi SKGR dan IMB sah, namun lahan miliknya telah dikuasai oleh pihak lain dan dibangun menjadi deretan ruko dan rumah mewah tanpa seizinnya. Fakta lapangan menunjukkan pembangunan tersebut tidak hanya terjadi di atas tanah Swandi, tapi meluas hingga puluhan ribu meter persegi yang kini dipenuhi properti milik pribadi.

Ironisnya, di tengah konflik hukum, BPKAD Meranti secara sepihak memasang plang pada 27 Desember 2024 dan mengklaim bahwa sebagian kecil lahan tersebut adalah aset daerah. Namun klaim ini justru menimbulkan pertanyaan besar. BPKAD hanya mengklaim 1.000 m² dari total sekitar 37.000 m² yang disebut sebagai lahan negara, lalu kemana aset 36.000 m² yang lainnya? Jika benar tanah itu adalah aset pemerintah, mengapa pembangunan ruko-ruko mewah oleh mafia tanah tetap dibiarkan dan hanya lahan Swandi yang diganggu?

Ramlan, salah satu tokoh masyarakat di Meranti, pernah menyebutkan kepada redaksi bahwa sengketa lahan ini akibat ulah mafia tanah, para mantan camat, para ahli waris, dan para pejabat Pemkab Meranti itu sendiri yang memperjualbelikan tanah tersebut. Hingga saat ini, lahan yang diklaim sebagai aset tidak juga diurus surat-suratnya.

Proyek pembangunan rumah mewah justru terus berjalan di tengah sengketa yang sedang berlangsung. Masyarakat bertanya-tanya: ada apa dengan pejabat BPKAD, lurah, dan camat? Mengapa proyek skala besar itu tak pernah disentuh penertiban? Apakah ini bagian dari pembiaran sistematis atau ada kepentingan ekonomi yang lebih besar di balik diamnya aparat?

Lebih mencurigakan lagi, Kabid Aset BPKAD, Istiqomah, yang memimpin langsung pemasangan plang di atas lahan Swandi, dalam pengakuannya menyatakan bahwa memang ada aset negara yang telah diperjualbelikan. Pernyataan ini membuktikan bahwa praktik jual beli aset daerah oleh oknum BPKAD bukan sekadar isu, melainkan realitas yang terkonfirmasi.

Jika benar tanah itu adalah aset pemerintah, maka Swandi adalah korban dari jaringan mafia tanah yang menyusup ke tubuh birokrasi. Ia hanya menguasai sebagian kecil dari hamparan luas yang kini dikuasai secara ilegal oleh pihak lain. Jika bukan aset pemerintah, maka klaim sepihak oleh BPKAD dan pemasangan plang adalah bentuk penyalahgunaan wewenang untuk menggagalkan proses hukum yang sedang berjalan.

Baca Juga:  Kepala UPT Transmetro Pekanbaru Resmi Dilaporkan PETIR Ke Kejaksaan Agung

Swandi telah menempuh jalur hukum melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri Bengkalis sejak November 2024. Namun prosesnya justru penuh kejanggalan. Hakim yang menangani gugatan ini diketahui adalah hakim yang sama dengan perkara sebelumnya yang telah dicabut Swandi. Masyarakat menyoroti hal ini sebagai potensi “masuk angin” di tubuh peradilan yang mengancam rasa keadilan masyarakat.

Masyarakat mendesak agar hakim tersebut diperiksa oleh Komisi Yudisial karena diduga tidak menjaga independensi dan memberi keputusan yang tidak berpihak pada fakta hukum. Jika mafia tanah bisa menguasai aset negara dengan mudah dan memenangkan persidangan, maka kehancuran sistem hukum tinggal menunggu waktu.

“Kenapa yang dikejar hanya tanah Swandi? Mengapa yang lainnya tidak disentuh? Kalau benar itu aset negara, mengapa pembangunan besar-besaran dibiarkan? Ini bukan kelalaian biasa, ini kejahatan terstruktur,” ujar seorang tokoh masyarakat Selatpanjang yang geram.

Ketua Umum SATU GARIS, Ade Monchai, dengan tegas mendesak aparat penegak hukum agar segera menangkap dan memeriksa para pihak yang diduga terlibat dalam mafia tanah tersebut. “Tangkap mafia tanah Liong Tjai, Apeng, dan Bin Kian. Periksa juga oknum BPKAD Meranti, lurah, camat, dan hakim PN Bengkalis yang diduga terlibat. Jangan biarkan hukum dipermainkan,” ujar Ade Monchai.

SATU GARIS juga meminta kepada Bupati Meranti untuk mengevaluasi jabatan Istiqomah, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum di BPKAD. “Orang yang sudah secara terang-terangan terlibat dalam tindakan sewenang-wenang terhadap warga, apalagi dalam posisi kunci pengelolaan aset daerah, tidak layak dibiarkan tetap menjabat,” tegas Ade.

Sampai hari ini, tidak ada satu pun dokumen legal atas nama Liong Tjai, Apeng, maupun Bin Kian yang ditunjukkan kepada pengadilan. Namun pembangunan properti oleh mereka terus berlangsung. Penelusuran juga menyebutkan bahwa sebagian besar tanah tersebut berasal dari sisa aset induk Kabupaten Bengkalis yang belum pernah disertifikatkan ulang, membuatnya rentan dikuasai oleh sindikat melalui jaringan birokrasi yang lemah.

Hingga berita ini diturunkan, Pemkab Meranti belum memberikan penjelasan resmi terkait status tanah satu hamparan tersebut maupun keterlibatan pejabatnya dalam dugaan pembiaran. Namun publik menuntut penyelidikan terbuka dan menyeluruh terhadap seluruh pihak yang terlibat, termasuk kemungkinan adanya aliran dana atau gratifikasi dalam transaksi-transaksi gelap atas tanah negara.

Catatan Redaksi: Jika benar tanah itu aset Pemda, maka seluruh kawasan harus diamankan dari perambahan. Namun jika bukan, maka klaim dan intervensi oleh BPKAD adalah pelanggaran hukum serius. Dalam dua kemungkinan itu, Swandi tetap korban—baik dari mafia tanah maupun dari sistem yang membiarkan ketidakadilan terus hidup di Meranti.

Tinggalkan Balasan