Jakarta – Selama masa jabatan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (kemudian Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), berbagai kebijakan pendidikan diluncurkan dengan tujuan reformasi sistem belajar di Indonesia. Meski sebagian dipandang progresif, sejumlah kebijakan juga menuai kontroversi. Selain itu, proyek digitalisasi pendidikan lewat pengadaan Chromebook turut disorot publik karena dugaan penyimpangan anggaran yang saat ini tengah diselidiki aparat penegak hukum.(01/06)
Salah satu kebijakan besar yang diterapkan adalah penghapusan sistem penjurusan di tingkat SMA dalam Kurikulum Merdeka. Melalui kebijakan ini, siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana studi masing-masing.
Tujuannya adalah mendorong pembelajaran yang lebih fleksibel dan personal. Namun, kebijakan ini juga menuai kritik, terutama terkait kesiapan guru, beban pembelajaran, dan arah evaluasi akademik siswa.
Kontroversi juga muncul dari draf awal Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020–2035. Dalam draf tersebut, frasa “agama” tidak dicantumkan secara eksplisit dalam visi pendidikan nasional, yang memicu keberatan dari sejumlah organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah.
Mereka menilai hal tersebut tidak sejalan dengan amanat UUD 1945. Nadiem kemudian menjelaskan bahwa nilai-nilai keagamaan tetap menjadi bagian dari profil Pelajar Pancasila, dan frasa “agama” akan dimasukkan dalam revisi dokumen tersebut.
Pada tahun 2021, Kemendikbudristek menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Peraturan ini disusun untuk memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual di kampus.
Namun, terdapat kritik terhadap penggunaan istilah “tanpa persetujuan korban” dalam pasal 5 ayat (2), yang dianggap dapat membuka interpretasi multitafsir dan memicu polemik di masyarakat. Beberapa organisasi keagamaan menilai frasa tersebut berpotensi melegalkan hubungan seksual di luar nikah atas dasar persetujuan, yang bertentangan dengan norma sosial dan nilai moral.
Di tengah upaya digitalisasi pendidikan, proyek pengadaan Chromebook menjadi sorotan tajam. Proyek ini diluncurkan sejak 2021 dengan total anggaran mencapai sekitar Rp9,9 triliun, ditujukan untuk mendukung pembelajaran digital di sekolah-sekolah seluruh Indonesia.
Namun, muncul dugaan penyimpangan anggaran dalam pelaksanaannya. Beberapa daerah sedang dalam proses penyelidikan aparat penegak hukum terkait proyek ini, antara lain:
Lampung Tengah: Diduga terjadi mark-up harga dan pengkondisian penyedia dalam proyek senilai Rp17,45 miliar.
Minahasa Utara: Pengadaan 5.547 unit Chromebook dengan nilai proyek Rp11,8 miliar. Harga satu unit disebut mencapai Rp7,6 juta, jauh di atas harga pasar.
Pesisir Selatan: Kejaksaan Negeri Painan menyelidiki proyek senilai Rp25,3 miliar untuk pengadaan alat TIK di 203 sekolah dasar.
Kuningan: Laporan menyebut harga pembelian satu unit Chromebook mencapai Rp10 juta, padahal harga e-katalog hanya sekitar Rp4,9 juta. Total anggaran proyek mencapai Rp57 miliar.
Selain masalah harga, kebijakan pengalihan sistem operasi dari Windows ke ChromeOS juga menimbulkan tanda tanya. Laporan teknis internal Pustekkom pada 2019 menyebut Chromebook kurang ideal untuk wilayah dengan keterbatasan koneksi internet. Keputusan beralih ke ChromeOS dinilai tidak melalui kajian menyeluruh dan menimbulkan spekulasi mengenai keterlibatan vendor tertentu.
Dugaan kasus pengadaan chromebook kini tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung,dan menjadi tranding topik Minggu ini.
Lembaga pengawas seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Indonesia Audit Watch (IAW) menyampaikan keprihatinan mereka atas proyek ini. Menurut mereka, sistem pengadaan yang kurang transparan dan pilihan vendor eksklusif membuka potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Beberapa tokoh masyarakat menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap arah kebijakan pendidikan di era Nadiem:
> Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah: “Pendidikan bukan sekadar soal teknologi dan keterampilan, tapi juga membentuk karakter dan keimanan. Jangan sampai pendidikan kehilangan jiwanya.”
> Sari Wahyuni, guru SMA di Makassar: “Kami mendukung inovasi, tapi seharusnya dibarengi dengan persiapan yang matang, bukan sekadar mengejar tren global.”
> Dr. Adian Husaini, Ketua Dewan Dakwah: “Perlu kehati-hatian dalam setiap kebijakan pendidikan agar tidak merusak tatanan nilai yang sudah lama dibangun bangsa ini.
Reformasi pendidikan adalah kebutuhan, tetapi harus dilandasi integritas, transparansi, dan kepekaan terhadap nilai-nilai sosial dan budaya. Kebijakan-kebijakan era Nadiem Makarim membawa banyak perubahan, namun juga meninggalkan pertanyaan besar mengenai implementasi dan akuntabilitas.
Masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan diharapkan terus terlibat aktif dalam mengawal arah pendidikan nasional agar tetap berada di jalur yang adil, bermoral, dan bebas dari praktik penyalahgunaan anggaran.