Pekanbaru, 29 Mei 2025 — Ketika publik berharap pada pemerintahan baru untuk membersihkan Kota Pekanbaru dari korupsi, justru sebaliknya terjadi. Seorang pejabat yang namanya disebut dalam sidang kasus suap terhadap mantan Pj Wali Kota Risnandar Mahiwa tetap menjabat sebagai Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda). Ia adalah Zulhelmi Arifin, yang kini menjadi simbol dari bobroknya sistem penegakan hukum dan birokrasi keuangan di ibu kota Provinsi Riau ini.
Dalam sidang perdana kasus dugaan suap terhadap mantan Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, dan mantan Sekda Pekanbaru, Indra Pomi Nasution, yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 29 April 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkap bahwa Risnandar menerima sejumlah uang dari beberapa kepala dinas, termasuk Zulhelmi Arifin yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Pekanbaru.
Meskipun lima pejabat eselon II lainnya yang disebut dalam sidang tersebut telah dinonaktifkan oleh Wali Kota Agung Nugroho, Zulhelmi Arifin justru dipertahankan sebagai Pj Sekda, sebuah posisi vital yang mengendalikan anggaran dan kebijakan keuangan daerah.
Zulhelmi Arifin juga telah berkali-kali menjadi sasaran aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil, menuntut penuntasan berbagai kasus korupsi yang membelitnya semasa menjabat Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Pekanbaru periode 2018–2021. Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Riau (AMPR) bahkan telah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Zulhelmi Arifin ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan membawa empat dokumen bukti.
Gerakan Mahasiswa Pekanbaru Peduli Keadilan (GMPPK) menggelar aksi demonstrasi di KPK RI, hari Rabu 19 Februari 2025. Aksi GMPPK menyoroti dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Pekanbaru.
Berikut daftar dugaan korupsi sistematis yang melibatkan Zulhelmi Arifin dan jajaran saat ia menjabat Kepala Bapenda:
1.Manipulasi Laporan Piutang untuk Opini WTP
Dugaan rekayasa laporan piutang di Bapenda Pekanbaru agar Pemerintah Kota Pekanbaru mendapatkan reward atas diraihnya predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
2.Pemotongan Insentif dan Dana Hibah
Dugaan pemotongan sepihak dana hibah dan insentif pegawai tanpa dasar hukum yang jelas.
3.Ketidaksesuaian Penerimaan Pajak
Perbedaan antara tagihan pajak dan setoran kas daerah yang tidak dapat dijelaskan secara transparan.
4.Kongkalikong Pajak dengan Pihak Ketiga
Dugaan kesepakatan ilegal dengan pihak ketiga dalam pembayaran pajak yang dilakukan jauh di bawah ketetapan.
5.Pemotongan Insentif Upah Pungut (UP)
Pegawai Bapenda dipotong insentifnya secara sepihak tanpa dasar hukum yang jelas.
Publik mempertanyakan mengapa seluruh laporan terhadap Zulhelmi tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Ada kesan bahwa penegak hukum di Pekanbaru “masuk angin”, bersembunyi di balik prosedur dan dalih bukti yang tak cukup, padahal dokumen dan laporan masyarakat sudah diserahkan sejak 2022.
“Ini bukan hanya kegagalan birokrasi, tapi pembiaran sistematis atas korupsi,” kata Susi SH MH, praktisi hukum di Riau.
“Jika Sekda yang diduga korup masih aman di jabatan, maka hukum di kota ini hanya jadi panggung dagelan.”pungkasnya
Dengan semakin panasnya tekanan publik, warga Pekanbaru kini mengarahkan sorotan mereka ke Jakarta. Mereka menuntut agar Presiden Prabowo, Kejaksaan Agung, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) segera mengaudit total keuangan Pemerintah Kota Pekanbaru, khususnya yang terkait dengan era Zulhelmi Arifin, dan membuka tabir kebusukan yang telah tercium.
Dengan kondisi ini, Pekanbaru bukan lagi sekadar kota administrasi, tapi simbol kegagalan negara dalam memberantas korupsi di level lokal. Jika pejabat yang disebut menyuap masih bisa duduk sebagai Sekda, maka satu pertanyaan pun menggema dari seluruh rakyat:
> “Untuk siapa hukum ditegakkan, kalau yang mencabik-cabiknya justru dilindungi oleh sistem?”
“Masihkah aparat penegak hukum akan terus diam?”
Ketika: Nama Zulhelmi Arifin disebut terang-terangan dalam dakwaan resmi kasus suap kepada Pj Wali Kota;
Ia telah dilaporkan ke KPK dengan empat alat bukti atas dugaan korupsi sistematis di Bapenda;
Lima pejabat lain yang disebut dalam kasus serupa sudah dicopot, namun ia justru naik jadi Pj Sekda, posisi strategis pengelola keuangan daerah;
Berbagai indikasi penyimpangan dan protes publik terekam jelas di media dan aksi demonstrasi;
Akan tetapi belum ada satu pun tindakan nyata dari aparat penegak hukum — baik dari kejaksaan, kepolisian, maupun KPK.
Maka, diamnya aparat bukan hanya soal kelalaian. Ini bisa dianggap sebagai bentuk pembiaran atau bahkan perlindungan sistemik terhadap dugaan pelaku korupsi.
Jika hukum tidak bergerak saat pelanggaran begitu nyata, maka publik punya hak untuk curiga: ada apa di balik ini semua?
Apakah hukum tunduk pada kekuasaan lokal? Apakah ada elit politik atau oligarki daerah yang ikut bermain? Atau aparat takut pada struktur kekuasaan yang tengah mengatur ulang wajah birokrasi di Pekanbaru?
Dan ketika hukum tak lagi jadi alat keadilan, maka hukum akan menjadi cermin rusaknya demokrasi dan Pekanbaru akan tercatat sebagai kota yang memilih melestarikan korupsi daripada membersihkannya.
*Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan informasi yang tersedia hingga 29 Mei 2025. Jika ada perkembangan terbaru atau klarifikasi dari pihak terkait, redaksi akan memperbarui informasi sesuai dengan data yang valid, Redaksi membuka ruang hak jawab terhadap pihak-pihak yang disebutkan sesuai UUD Pers.
Sumber ; mataxpost