Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi membuka penyelidikan terhadap salah satu skandal pengadaan terbesar di sektor pendidikan: proyek bantuan laptop untuk digitalisasi sekolah senilai hampir Rp 10 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Proyek yang berlangsung pada periode 2019–2022 ini diduga kuat sarat manipulasi, penyimpangan spesifikasi, hingga indikasi persekongkolan berjamaah antarpejabat dan vendor. (27/05)
Juru bicara Kejagung, Harli Siregar, mengungkap bahwa proyek pengadaan laptop berbasis sistem operasi Chromebook tersebut bukan hanya tidak efektif, tapi juga berpotensi kuat menyalahi kajian awal dan kebutuhan faktual satuan pendidikan.
“Pada 2019 sebenarnya sudah ada uji coba terhadap 1.000 unit Chromebook, dan hasilnya tidak efektif. Namun anehnya, pada 2020 hingga 2022 justru spesifikasi itu kembali dipaksakan,” ungkap Harli dalam konferensi pers di Kejagung, Senin (26/5/2025).
Menurutnya, pemaksaan penggunaan Chromebook tidak mempertimbangkan realita infrastruktur digital di Indonesia yang belum merata. Chromebook bergantung penuh pada jaringan internet yang stabil, sementara banyak sekolah, khususnya di daerah, masih kesulitan akses internet.
“Ini jelas keputusan yang tidak rasional jika dilihat dari sisi kebutuhan lapangan. Diduga kuat, spesifikasi diubah bukan karena kebutuhan, melainkan karena ada pemufakatan jahat,” tegas Harli.
Kasus ini kian mencurigakan setelah diketahui bahwa Kemendikbudristek membentuk tim teknis baru untuk menyusun kajian yang mengarah pada pemilihan Chromebook, menggugurkan rekomendasi awal yang semula menyarankan laptop berbasis Windows. Diduga, tim teknis ini hanya menjadi alat legitimasi formal agar proyek tetap berjalan dengan vendor dan spesifikasi yang telah “dikondisikan”.
“Ini indikasi kuat bahwa ada skenario terstruktur. Tim teknis diarahkan menyusun kajian agar spesifikasi mengarah ke produk tertentu, bukan berdasarkan kebutuhan riil pendidikan nasional,” ujar Harli.
Dari investigasi awal, diketahui proyek pengadaan ini didanai dari dua sumber besar: Rp 3,5 triliun berasal dari anggaran satuan pendidikan, sementara Rp 6,3 triliun bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Total anggaran yang dihabiskan mencapai Rp 9.982.485.541.000.
Tak berhenti pada penyelidikan dokumen, penyidik Jampidsus Kejagung juga telah melakukan penggeledahan di dua lokasi strategis yang diduga menjadi simpul utama jejaring korupsi ini. Pada Rabu (21/5), aparat menggeledah dua apartemen yang dimiliki oleh staf khusus eks Mendikbudristek berinisial FH dan JT.
Di apartemen FH, tim menyita 4 unit ponsel dan 1 laptop. Sementara di apartemen JT, disita dua hardisk, sebuah flashdisk, satu laptop, dan dokumen-dokumen penting. Seluruh barang bukti tersebut kini sedang dianalisis untuk mengurai jejak komunikasi, aliran uang, serta aktor-aktor lain di balik proyek jumbo ini.
“Seluruh barang sitaan akan dibuka, dibaca, dan dianalisis mendalam untuk membongkar jaringan yang terlibat dalam persekongkolan ini,” kata Harli dikutip dari detik.com
Pakar kebijakan pendidikan dan teknologi menilai proyek ini sebagai contoh nyata kebijakan yang dipaksakan tanpa basis kebutuhan dan kesiapan infrastruktur. Banyak sekolah penerima bantuan melaporkan bahwa Chromebook tidak bisa dipakai maksimal karena keterbatasan sinyal dan jaringan.
“Alih-alih mempercepat transformasi digital, proyek ini justru menjadi beban dan pemborosan. Kalau benar korupsi terjadi di sini, ini adalah pengkhianatan terhadap generasi muda,” ujar salah satu pengamat pendidikan yang enggan disebut namanya.
Tak sedikit juga pihak yang mendesak Kejagung untuk membongkar semua pelaku dari hulu ke hilir, termasuk vendor pengadaan, penyusun kajian, serta pejabat yang mengesahkan proyek meski bertentangan dengan rekomendasi teknis.
Kejagung memastikan akan menindaklanjuti penyidikan ini hingga tuntas. Jika terbukti ada pemufakatan jahat, para pelaku dapat dijerat dengan Pasal-pasal korupsi yang berpotensi hukuman maksimal seumur hidup.
Skandal ini menjadi alarm keras bahwa proyek berbungkus digitalisasi bisa menjadi pintu baru korupsi berjamaah, jika tidak diawasi ketat sejak tahap perencanaan hingga distribusi.
Sementara itu, masyarakat dan kalangan pendidik kini menunggu: akankah penyidikan ini membongkar jaringan mafia anggaran di tubuh Kemendikbudristek? Dan akankah Rp 9,9 triliun yang semestinya untuk masa depan anak-anak bangsa, akan berakhir di meja hijau para pelahap anggaran?
Berita ini akan terus diperbarui seiring perkembangan penyidikan Kejagung.