Pekanbaru – Proyek pembangunan sistem pompa banjir di Parit Belanda, Jalan Nelayan, Kecamatan Rumbai, Pekanbaru, kembali menuai sorotan tajam. Proyek senilai Rp89 miliar ini diduga menyimpan sejumlah penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp2 miliar. (25/05)
Proyek tersebut merupakan bagian dari program Urban Flood Control System Improvement (UFCSI) yang didanai melalui pinjaman luar negeri dari Japan International Cooperation Agency (JICA), disalurkan melalui Kementerian PUPR kepada Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera III. Tujuannya adalah untuk mengatasi banjir tahunan di sekitar bantaran Sungai Siak yang selama ini menjadi persoalan klasik Kota Pekanbaru.
Namun, berdasarkan dokumen dan temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sejumlah kejanggalan teridentifikasi, antara lain:
Tidak tersedia bangunan kantor lapangan (direksi kit) secara mandiri. Yang ada justru menumpang di bangunan rumah pompa eksisting yang bukan bagian dari pekerjaan baru. Hal ini bertentangan dengan standar pelaksanaan proyek.
Gambar kerja yang digunakan berasal dari dokumen bangunan lama dan tidak dirancang oleh kontraktor pelaksana saat ini. Tidak ditemukan gambar teknis sah sebagai dasar pelaksanaan pekerjaan.
BPK mencatat adanya indikasi kelebihan bayar senilai Rp2 miliar, meskipun progres fisik proyek belum sepenuhnya selesai. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas pelaksanaan kontrak.
“Hasil audit BPK menunjukkan kelebihan bayar sebesar Rp2 miliar. Ini berarti ada kesepakatan apa antara PPK dan kontraktor sehingga berani membayar sebelum progres tercapai?” ujar salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya.
Di lapangan ditemukan lima unit pompa hisap dengan kapasitas diduga hanya 0,3 meter kubik per detik. Diragukan apakah daya hisap pompa tersebut mampu melayani saluran sepanjang kurang lebih 12 kilometer dari Parit Belanda hingga ke Sungai Siak. Efektivitas sistem pompa ini dipertanyakan dari sisi desain maupun implementasi teknis.
Sesuai Kerangka Acuan Kerja (KAK), tanah galian seharusnya dibuang ke lokasi sejauh 30 kilometer. Namun faktanya, pembuangan dilakukan di sekitar lokasi proyek. Praktik ini tidak hanya melanggar aturan teknis, tetapi juga menimbulkan dugaan penghematan biaya demi keuntungan sepihak.
Selain itu, muncul dugaan kuat adanya “main mata” antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Tomy Alfriadi dan kontraktor. Volume pekerjaan dan dana diduga dialihkan ke item pekerjaan saluran sepanjang 12 kilometer yang dianggap lebih menguntungkan.
“Kami mencurigai banyak item mayor dipindahkan ke pekerjaan saluran karena margin keuntungannya lebih besar. Ini bentuk penyimpangan sistematis,” ujar seorang pemerhati proyek.
Publik mempertanyakan keputusan pengalihan dana dari kebutuhan teknis mendesak seperti penambahan kapasitas pompa ke pekerjaan lain yang justru menimbulkan kecurigaan. Pengelolaan anggaran proyek ini dinilai tidak berorientasi pada kepentingan publik, melainkan pada keuntungan pribadi atau kelompok.
Project Manager PT Minarta Dutahutama, Nalfican ST, diberbagai media menyatakan bahwa proyek ini merupakan bagian dari rencana penanganan banjir terpadu yang telah dirancang sejak 2011.
“Kami mengganti sistem pompa lama di Sektor III dan berupaya menyelesaikan pekerjaan sesuai standar teknis,” ujarnya.
Namun pernyataan tersebut belum menjawab substansi dugaan pelanggaran dan potensi kerugian negara yang terjadi.
Praktisi hukum Susi, SH, MH menilai bahwa temuan BPK mengarah pada indikasi kuat tindak pidana korupsi.
“Pembayaran sebelum pekerjaan selesai, terutama dalam jumlah besar, bisa dikategorikan sebagai mark-up atau bahkan fiktif. Ini melanggar Pasal 2 dan 3 UU Tipikor,” tegasnya.
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara diancam pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
Pasal 3 menjerat penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.
“Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi indikasi kuat penyalahgunaan kewenangan. Kejaksaan Tinggi Riau harus segera turun tangan,” tutup Susi.
Hingga berita ini diterbitkan, Pejabat Pembuat Komitmen proyek, Tommy Afrialdi, dan pihak BWS Sumatera III belum memberikan keterangan resmi. Sementara itu, desakan publik terhadap penegakan hukum terus meningkat, agar proyek berbasis pinjaman internasional ini tidak menjadi preseden buruk dalam tata kelola pembangunan infrastruktur di Indonesia.